Pandangan Hidup Bung Hatta


TEMA : MANUSIA DAN PANDANGAN HIDUP

Bung Hatta yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus 1902 dianggap memiliki tiga nilai prinsip hidup yang utama, yaitu: santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang menjadi kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih sangat relevan untuk dilaksanakan.
Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.
Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable. Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum harian Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk menodainya melakukan tindak korupsi.

Padahal, pejabat lain melakukan hal buruk itu. Kalau saja ia mau melakukan korupsi, barangkali bukan hanya sepatu merek Bally yang mampu dibelinya. Bisa saja ia memiliki saham di pabrik sepatu dan berganti-ganti sepatu baru setiap hari. Tetapi, ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal ini merupakan sebuah tragedi.
Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya, hingga Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli sepasang sepatu bermerek terkenal.
Bahkan, dalam berbagai versi disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri dan tiga orang anaknya.
Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri. Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorang mantan wakil presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik bangsa dan negara.
Dalam catatan yang ditulis Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta, keluarga Bung Hatta memang bukan keluarga yang mengejar kemewahan hidup. Bukan hanya Bung Hatta yang memiliki pikiran dan sikap demikian, juga istrinya Ny Rahmi Hatta. “Kita sudah cukup hidup begini, yang kita miliki hanya nama baik, itu yang harus kita jaga terus,” tulis Meutia menirukan kata ibunya (Kompas, 9/8/2002).
Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air, Hatta merasa memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan pemikiran dan pemahaman, terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah negara merdeka. Ia banyak menulis tentang bagaimana sengsaranya rakyat yang hidup dalam jajahan bangsa lain. Sebaliknya, bangsa yang menjajah hanya tinggal menikmati hasil dari keringat rakyat yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas Hatta tidak melihat adanya keadilan.
Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti kemerdekaan, bukan hal yang mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika harus menjelaskan apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat Indonesia harus memiliki kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk itu rakyat perlu dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari buta huruf, baca dan tulis. Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak malah menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.
Antara tulisan dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak terjadi pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap yang telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, karena merasa tidak cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno tidak berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.
Publik kemudian tahu, konsepsi Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh PKI dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara menyakitkan. Namun, hal itu ternyata tidak berarti kesempatan akan diberikan kepada Hatta untuk membuktikan konsepsinya yang berbeda dengan Bung Karno. Hatta tak pernah kembali ke posisi eksekutif bangsa. Meskipun demikian, semua itu tidak mengurangi hasa hormat bangsa Indonesia pada Bung Hatta sebagai orang besar yang berjasa besar terhadap bangsa ini.
Bung Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya, ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan moralitas tinggi. Ia adalah cermin dari tokoh yang lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap baik dan harum di sanubari Bangsa Indonesia.

Nilai yang dapa di ambil dalam pandangan hidup bung hatta adalah tanggung jawab
Tanggung jawab yang sesungguhnya harus kita contoh seperti Pahlawan di atas yang senantiasa memiliki sifat, tegas dan jelas.

Reff : http://riezqa.blogspot.com/2007/07/mohammad-hatta-sang-proklamator.html

Responses to "Pandangan Hidup Bung Hatta"

Write a comment