Nlai Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Kesenian Gandrung


Gandrung adalah kesenian masyarakat Banyuwangi yang amat tua. Gandrung pada awalnya dimainkan oleh laki-laki yang diparas menjadi perempuan dan sampai pada tahun 1890-an dimainkan oleh seorang laki-laki dan tahun 1990-an dimainkan oleh perempuan. Mulai awal, Gandrung mendapatkan kritikan-kritikan baik oleh oleh masyarakat khususnya agamawanPengharaman bagi laki-laki yang berparas perempuan dan perempuan mendapatkan kritikan tidak boleh bekerja di ranah publik. masyarakat sampai saat ini memandang Gandrung sebagai pekerjaan murahan yang berhubungan dengan dunia malam yang penuh maksiat dan mengundang dosa karena mempertontonkan lekuk tubuhnya. Tak jarang para penari Gandrung mendapat perlakuan negatif secara seksual dari pencinta ataupun penonton, Gandrung sebagai pekerjaan murahan, penuh maksiat dan mengundang dosa. Penari Gandrung dianggap melanggar etika masyarakat yang agamis dan sopan dengan membuka peluang terjadinya transaksi-transaksi seksual.
Beberapa peran penting yang secara implisit telah dimainkan oleh para penari Gandrung ini. Termasuk di dalamnya, Pertama: Media (Syair gending) untuk mengungkapkan perasaan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Using yang berupa realitas sosial yang sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas Using di Kabupaten Banyuwangi kepada masyarakat banyuwangi dan pada umumnya , kedua: sebagai figur sentral dalam mempertahankan kebudayaan masyarakat Using dan Sebagai Identitas Kabupaten Banyuwangi Sebagai Kota Gandrung dan ketiga: secara tidak langsung keberadaan penari Gandrung telah menjadi katub penyelamat bagi kehidupan ekonomi keluarganya, terlebih dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang kian hari kian memprihatinkan.
Namun demikian, peran penting ini tak pernah dilihat secara bijak oleh masyarakat pada umunya. Masyarakat cenderung melihat hanya dari satu sisi yang cenderung subjektif dan menghakimi. Atas dasar pemikiran inilah maka keberadaan penari Gandrung sebagai bagian dari kelompok sosial masyarakat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara detail peranan dari penari gandRrung sampai saat ini tetap eksis.
Tuntutan persamaan hak wanita dalam berbagai bidang kehidupan sudah menjadi agenda di zaman sekarang ini.Kesetaraan gender sesungguhnya telah menempatkan posisi kaum wanita pada tingkatan yang sama dengan kaum pria. Kini, Dalam kehidupan rumah tangga, keberadaan kaum wanita bukan hanya sebagai penyandang peran domestik (seorang ibu rumah tangga). Namun, kaum wanita juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi dan di bidang politik. Menurut Stoler (1984:184) pada umumnya, motivasi perempuan untuk bekerja di ranah publik didasari oleh kepentingan ekonomi rumah tangga, mendapatkan kemandirian, belajar menghadapi tantangan sosial ekonomi, dan untuk meningkatkan status sosial ekonominya. Namun, bagi rumah tangga miskin penghasilan seorang perempuan dari usaha ekonomi memberi kesempatan untuk memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga.
Perubahan persepsi yang semakin baik terhadap perempuan seiring dengan arah kebijakan pembangunan yang menempatkan wanita sebagai target pemberdayaan, sehingga memiliki kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di daerah. Adapun program pembangunan yang dikembangkan adalah program peningkatan peranan kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan kegiatan pokok pada beberapa aspek, yaitu: pendidikan dan pelatihan ketrampilan perempuan, perlindungan tenaga kerja perempuan, dan pengembangan kelembagaan atau organisasi perempuan (Kusnadi, dkk, 2006:4). Namun demikian, tidak semua kaum wanita terjangkau oleh program pembangunan ini, sehingga masih banyak perempuan yang melakukan aktivitas ekonomi yang tidak sesuai dengan keinginan pribadi dan pandangan masyarakat. Salah satunya adalah mereka yang bekerja sebagai penari Gandrung.
Gandrung merupakan budaya masyarakat Banyuwangi (Using) dalam bentuk karya seni tari yang berkembang pada abad 18-an dikalangan masyarakat Blambangan kala itu. Versi sejarah awal mula Gandrung banyak beragam versi, akan tetapi tidak merubah paradigma masyarakat Banyuwangi tentang seni tari Gandrung yang dikagumi, Gandrung untuk kalangan masyarakat Banyuwangi terutama kelas menengah kebawah adalah tari tradisional yang sakral. Yang pada akhirnya kadang beralih fungsi sebagai hiburan tanggapan pada acara-acara tertentu.
Tari Gandrung berawal mula dari tari tradisional, tari Sanyang dan tari Seblang yang berfungsi untuk menghormati Dewi Sri dan sebagai bentuk tarian keselamatan. Kedua tarian tersebut bersifat sakral (Soejadi,1985). Banyak versi tentang Gandrung. Tapi, keragaman versi tidak berpengaruh bagi masyarakat Banyuwangi yang menjadikan Gandrung sebagai seni tradisi yang dikagumi. Kisah itu tidak terlepas dari tutur yang diuraikan secara turun temurun.
Bagi masyarakat Using, Gandrung merupakan kesenian yang amat tua lahir bersamaan dengan ritual pembukaan hutan untuk dijadikan pusat pemerintahan pada tahun tahun 1774. Gandrung ditakdirkan berjalan beriringan dan untuk menyemarakkan suatu acara. Berbagai perubahan dimana formasi sosial hendak dibentuk (Anoegrajekti. 2006).
Srintil (2007 : 12), penari Gandrung pada mulanya adalah laki-laki muda, berparas cantik dan menggunakan pakaian perempuan. Istilah setempat menyebutkan sebagai Gandrung lanang. hal tersebut juga diperjelas oleh Scholte (1927: 7), sampai tahun 1890 nama Gandrung di Banyuwangi ditujukan kepada seorang laki-laki. Para Gandrung tersebut sama dengan para sedati dari Aceh, para runding dari Madura, dan para gemblak dari Jawa. Gandrung lelaki yang penghabisan di Banyuwangi adalah Marsan. Mreka para pemuda yang dijadikan “alat” perjuangan untuk melawan penjajah, konon implikasi perang Bayu, membuat sebagian sisa-sisa pasukan melarikan diri kedalam hutan pedalaman daripada tinggal di desa yang telah dikuasai oleh kompeni. Dan meskipun perang Bayu telah usai, mereka bertahan didalam hutan sambil melakukan gerilya. Komunikasi dapat berlangsung berkat andil Gandrung lanang yang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni oleh sisa-sisa rakyat Blamangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda, selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan sisa-sisa rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyian untuk membentuk masyarakat baru.
Sejak awal ketika penari Gandrung di mainkan oleh laki-laki, seperti yang dijelaskan hampir seniman-budayawan Banyuwangi, penari Gandrung diparas dengan secantik mungkin dan berpakaian perempuan. Kehadiran Gandrung sangat berperanan penting sebagai pemenuh hiburan dan sebagai media perjuangan melawan Belanda. Namun dilain pihak, keberadaan Gandrung mendapatkan kritikan ketika semakin meluasnya puritanisasi Islam yang antara lain mengharamkan pemeranan perempuan oleh laki-laki. Atas dasar hadist Nabi yang sangat umum bahwa “ barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong mereka (man tasyabaha bi qaumin, fahuwa minhum) peniruan atau pemeranan perempuan oleh laki-laki atau sebaliknya, karena hal itu akan selain berpengaruh pada kejiwaan yang bersangkutan juga akan menyulitkan pendifinisian yang berimplikasi pada status dan penentuan hukum. (Srintil, 2007: 14).
Logika kaum agamawan adalah bahwa hidup harus diatas aturan agama, tanpa memperdulikan realitas kehidupan yang ada. Sebab aturan agama adalah segala-galanya. Ia merupakan naturan yang asasi dan tidak boleh ditolah dalam keadaan apapun. Manusia harus menaati aturan-aturan agama tersebut dalam realitas kehidupannya. Orang yang melakukan pembangkangan terhadap aturan agama dianggap sebagai penentang Tuhan.
Pada abad ke 19 (1896) terjadi perubahan radikal Gandrung Banyuwangi, Gandrung yang semula di mainkan oleh laki-laki berubah menjadi penari perempuan. Jika dianalisis, terjadinya pergantian penari Gandrung dari lanang menjadi perempuan bukan karena kehadiran Semi, melainkan karena kritikan-kritikan agama terhadap kesenian Gandrung yang menyebabkan tidak ada regenerasi penari Gandrung dan dilain pihak karena persaingan. Sejak pergantian Gandrung lanang menjadi perempuan dengan menghadirkan semi sebagai penari Gandrung juga mendapatkan kritikan yang luar biasa bahwa perempuan tidak boleh tampil diranah publik.
Dengan adanya tanggung jawab pemerintah atas kebudayaan maka di setiap sekolah SMK di adakan kegiatan ekstrakurikuler Tarian Gandrung, dengan adanya kepetusan ini pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh terhadap kebudayaan nasional, sehingga anak cicit kita tidak akan lupa dengan kebudayaannya.
Dikutip dari http://www.sejarahbanyuwangi.com/35-menguak-peranan-penari-gandrung-yang-termarginalkan-dalam-mempertahankan-identitas-kebudayaan-banyuwangi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Gandrung_Banyuwangi